Tradisi Keagamaan dan Kolektivitas Masyarakat Kedungwanglu

25 Juli 2017 12:02:18 WIB

Penulis: Kondhang Tri Utami (KKN-PPM UGM 2017 GK-21)

 

“Wong sing disenengi Gusti Allah wong kang ahli ibadah” – Amaliyah (Kedungwanglu, 13 Juli 2017)

Ramadhan tahun ini telah usai, tetapi hal tersebut bukan berarti seruan untuk beribadah berkurang. Seruan itu bahkan terasa lebih alami dan tidak temporer, seperti halnya yang ditemui di Kedungwanglu.

Definisi desa aman dan beriman nampaknya pas apabila disematkan pada Padukuhan Kedungwanglu yang mempunyai sejarah panjang sebagai desa yang memulai segalanya dengan tuntunan dan tradisi keagamaan. Hal tersebut tidaklah mengherankan jika dilihat dari masyarakatnya yang banyak mengenyam pendidikan di lingkungan pesantren dan kemudian turun-temurun menjadi tradisi. Dari situlah banyak kegiatan rembug desa dilakukan, seperti kegiatan Amalan yang disertai pengajian dengan maksud bahwa segala urusan akan lebih mudah ketika meminta izin dan pertolongan dari-Nya melalui doa yang dipanjatkan bersama-sama.

Begitu juga dengan kegaiatan Amaliyah yang diadakan setiap malam Jumat Kliwon di Masjid Kedungwanglu. Kegiatan ini dihadiri oleh seluruh warganya dan juga merupakan gambaran dari kehidupan pedesaan yang guyub rukun dengan tujuan untuk memperkuat silaturahim antar sesama manusia sekaligus usaha untuk lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta melalui dzikir dan sholawatan bersama.

Aturan-aturan yang ada di Kedungwanglu pun dibuat tak lain dari hasil kesepakatan bersama yang tentunya sejalan dengan ajaran agama. Kesepakatan itu, ketika tidak dijalankan, akan memunculkan rasa perkewuh pada warganya. Dari hal itu, terlihatlah etika sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat warga Kedungwanglu. Kegiatan yang dilakukan bersama-sama akan meringankan segalanya dengan terlebih dahulu meleburkan ego pribadi. Hal semacam ini adalah cara hidup bersama untuk menciptakan harmoni masyarakat Kedungwanglu pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya.

Hal yang menarik juga terlihat dari apa yang dibuat masyarakatnya, seperti pembagian peran warga Kedungwanglu; akan ditunjuk beberapa orang yang diserahi tanggung jawab untuk lebih memudahkan pelaksanaan, antara lain sebagai juru kunci masjid (untuk mengurus keperluan masjid), juru makam (mengurusi keperluan pemakaman), dan turi alom (mengurusi prosesi orang yang meninggal dunia). Terdapat juga Hadroh, yaitu kesenian yang dilakukan para anak muda masjid sebagai pengiring sholawatan. Adapun sholawatan sendiri juga merupakan bentuk kearifan yang telah memberikan warna tersendiri dan kemudian diwariskan secara turun temurun. Kegiatan positif semacam ini lebih banyak digemari warga sekitar jika dibandingkan dengan budaya populer anak muda zaman sekarang yang kurang perhatian pada kesenian lokal dan cenderung mengikuti trend tanpa memilah mana yang benar-benar sesuai, daripada mengembangkan budaya sendiri dari apa yang telah ada.

Komentar atas Tradisi Keagamaan dan Kolektivitas Masyarakat Kedungwanglu

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar